Teladan Rasisme dari Iblis
Kata diskriminatif dalam kamus ilmiah populer diartikan bersikap membeda-bedakan, memisahkan diri dari warga negara karena perbedaan warna kulit. Sementara rasialis sendiri berarti penganut paham rasialisasi: pejuang kelestarian perbedaan ras/suku bangsa/warna kulit (Achmad Maulana dkk., Kamus Ilmiah Lengkap, Yogyakata: Absolut, 2011). Sikap diskriminatif rasialis ini sebenarnya sudah muncul sejak pertama kali manusia diciptakan (Adam).
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ (٧١) فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ (٧٢) فَسَجَدَ الْمَلائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ (٧٣) إِلا إِبْلِيسَ اسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (٧٤)
Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: ‘Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya!’ Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis. Dia menyombongkan diri dan adalah dia (Iblis) termasuk golongan kafir” (QS. Shad[38]: 71-74).
Ketika Allah menyerukan untuk bersujud (hormat) kepada Adam seluruh malaikat melaksanakannya, kecuali Iblis. Dari kisah inilah kita melihat bagaimana Iblis mempelopori munculnya diskriminasi. Mengapa Iblis menolak bersujud kepada Adam? Tentu bukan tanpa alasan. Iblis menganggap bahwa dirinya lebih hebat dari Adam karena ia diciptakan dari api, sementara Adam dari tanah. Ungkapan ini diperjelas dalam lanjutan ayat di atas yakni ayat 76-76: قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ (٧٥) Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan ‘kedua tangan-Ku’. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ (٧٦) Iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Dia Engkau ciptakan dari tanah.” Iblis menjadikan perbedaan asal kejadian sebagai alasan tak mau menghormati Nabi Adam ‘alaihissalam. Ia menganggap bahwa api lebih utama daripada tanah karena api dapat membakar tanah. Iblis pun enggan bersujud kepada Adam. Demikian Syekh Nawawi menjelaskan dalam Tafsirnya Murah Labid Tafsir An-Nawawi, h. 233.
Kesombongan memang senantiasa menutupi kejernihan akal sehingga siapa pun tidak bisa bersikap objektif. Bahkan pernyataan-pernyataan yang disampaikan pun kadang tidak berdasar atas argumentasi yang kuat. Apakah benar hanya karena api bisa membakar tanah lantas tanah itu lebih rendah kualitasnya dibandingkan api? Waryono Abdul Ghafur (2009: 153) menjelaskan dalam bukunya Menyingkap Rahasia Al-Qur’an, bahwa sebenarnya justru tanah memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan api. Namun demikian bukan berarti manusia pun harus sombong kepada Iblis atas keunggulan ini. Jika demikian adanya, apa bedanya manusia dengan Iblis? Api sifatnya membakar dan memusnahkan, sementara tanah mengembangkan dan menjadi sumber rezeki.
Api sifatnya berkobar, menjilat-jilat, mudah diombang-ambingkan angin, sementara tanah lebih tenang. Tanah dibutuhkan oleh manusia dan binatang, sementara api tidak. Api dapat padam oleh tanah, namun tanah tidak akan binasa oleh api. Di dalam tanah terkandung banyak manfaat, seperti minyak, batubara, emas, timah, dan sebagainya. Sementara tidak demikian halnya api. Allah banyak menyebut tanah dalam konteks positif, sedangkan api hanya sedikit dan lebih pada konteks negatif .
Kita semua tahu bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia. Membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Kisah kesombongan Iblis atas Adam ini merupakan sebuah pelajaran yang sangat penting bagi umat manusia. Pada kenyataannya manusia sendiri saling menyombongkan diri di antara satu dan lainnya. Bukan karena dari mana ia diciptakan sebagaimana Iblis, tapi lebih kepada apa yang ada pada dirinya setelah diciptakan.
Kesombongan bisa disebabkan karena nasab (keturunan), ilmu, harta, pangkat, komunitas, strata sosial, prestasi, ras, warna kulit, dan lain sebagainya. Mengapa terjadi demikian? Kembali kepada penjelasan di atas, kesombongan selalu menutupi akal sehat manusia sehingga tidak menyadari bahwa dirinya hanyalah hamba yang penuh dengan kekurangan di hadapan Allah. Seluruh makhluk dibekali potensi berbeda-beda: ada yang kaya akan ilmu tapi miskin harta, begitupun sebaliknya; ada yang ditakdirkan menjadi pejabat, maka ada juga yang menjadi rakyat; dan sebagainya.
Hikmah dari perbedaan-perbedaan itu tak lain adalah agar manusia saling mengenal dan saling menopang satu sama lain. Dengan adanya perbedaan itulah akan terjadi adanya saling membutuhkan sehingga terjalin ukhuwah (persatuan), baik dalam lingkup keagamaan, sosial, atau kenegaraan. Semoga kita semua dijadikan manusia berilmu serta dapat menggunakan seluruh potensi. Sehingga dapat memahami hak dan kewajiban sebagai manusia baik di antara makhluk maupun di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Âmîn. Wallahu a’lam bish shawab. Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/112775/teladan-rasisme-dari-iblis